Indonesia di Awal
September 2025: Bangsa di Tengah Gejolak Legitimasi
Indonesia memasuki
September 2025 dengan beban berat dari gejolak sosial-politik yang mengguncang
ibukota dan berbagai daerah dalam seminggu terakhir Agustus. Sebagai bangsa
yang sedang dalam masa transisi kepemimpinan dengan berbagai ekspektasi tinggi,
kondisi saat ini memaksa kita untuk merefleksikan secara mendalam tentang
keadaan republik ini.
Krisis Legitimasi Politik:
Ketika Rakyat Kehilangan Kepercayaan
Sejak 25 Agustus 2025,
gelombang demonstrasi mahasiswa dan masyarakat mencerminkan akumulasi
ketidakpuasan publik terhadap lembaga negara, khususnya DPR dan kabinet. Yang
membuat situasi ini berbeda dari aksi protes sebelumnya adalah Indonesia saat
ini menghadapi krisis legitimasi moral dan politik yang serius.
Rentetan aksi unjuk rasa
sejak 25 hingga 30 Agustus 2025 terjadi diberbagai lokasi di Jakarta, dengan
eskalasi yang mengkhawatirkan. Sebanyak 600 orang ditangkap dalam aksi
demonstrasi dan seorang pengemudi ojek daring tewas, menunjukkan bahwa situasi
telah melampaui batas demonstrasi damai yang konstruktif.
Isu yang memicu gelombang
protes ini adalah kebijakan tunjangan perumahan DPR yang dinilai tidak etis di
tengah kesulitan ekonomi rakyat. Tunjangan perumahan DPR sebesar Rp50 juta per
bulan menjadi simbol ketidaksensitifan elit politik terhadap kondisi ekonomi
masyarakat yang semakin terpuruk.
Paradoks Ekonomi: Angka vs
Realitas
Kondisi ekonomi Indonesia
menampilkan paradoks yang menarik untuk dicermati. Secara makro, ekonomi
Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan yang relatif stabil dengan
kuartal pertama 2025 mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,87 persen (yoy). Ekonomi
Indonesia diproyeksikan akan tumbuh dalam rentang 5,1-5,5 persen di 2025 dengan
tingkat inflasi dalam rentang 1,5-3,5 persen.
Namun, proyeksi optimis
pemerintah menghadapi skeptisisme dari berbagai lembaga. Proyeksi pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun ini telah direvisi turun dari OECD hingga Bank
Indonesia, dengan target pertumbuhan pemerintah sebesar 5,2 persen dinilai
sulit dicapai. Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan perekonomian Indonesia
hanya akan mencapai 5,1 persen pada tahun 2025.
Di balik angka-angka makro
yang relatif stabil, pasar keuangan Indonesia mengalami gejolak signifikan
akibat eskalasi protes politik pada akhir Agustus, menunjukkan bahwa stabilitas
ekonomi tidak dapat dipisahkan dari stabilitas politik dan sosial.
Ambisi vs Realitas: Target
8% dalam Sorotan
Presiden Prabowo Subianto
telah menargetkan pertumbuhan ekonomi agar mampu mencapai angka 8% dengan
mengoptimalkan berbagai sektor potensial melalui 17 Program Prioritas mulai
dari swasembada pangan, energi, pengentasan kemiskinan. Target ini sangat ambisius
mengingat realitas ekonomi saat ini yang masih berkutat di angka 4-5%.
Kesenjangan antara target
8% dengan proyeksi realistis 5,1-5,5% mencerminkan tantangan besar yang
dihadapi pemerintahan baru. Pertanyaannya bukan hanya tentang kelayakan target,
tetapi juga tentang strategi konkret untuk mencapai lompatan pertumbuhan yang
signifikan tersebut.
Refleksi Polycrisis:
Krisis Multidimensi
Kondisi Indonesia saat ini
dapat dikategorikan sebagai polycrisis—krisis politik yang ditandai dengan
menurunnya nilai-nilai demokratis, disrupsi digital, krisis lingkungan, dan
deteriorasi kesejahteraan ekonomi publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan
yang dihadapi bangsa tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan
memperkuat satu sama lain.
Krisis legitimasi politik
yang sedang terjadi tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekonomi masyarakat yang
belum pulih sepenuhnya dari berbagai tekanan global. Ketika elit politik
terlihat tidak sensitif terhadap kondisi rakyat, seperti dalam kasus tunjangan
DPR, hal ini memicu akumulasi kekecewaan yang telah lama terpendam.
Dampak pada Kehidupan
Sehari-hari
Gejolak politik telah
berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Demonstrasi yang
terjadi tidak hanya mengganggu aktivitas ekonomi di Jakarta, tetapi juga
menciptakan ketidakpastian yang lebih luas tentang stabilitas politik dan
sosial.
Nilai tukar Rupiah
terhadap Dolar AS diperkirakan berada di rentang Rp15.300 - Rp16.000,
menunjukkan tekanan pada mata uang domestik yang juga dipengaruhi oleh
ketidakstabilan politik.
Generasi Muda dan
Demokrasi: Pelajaran dari Demonstrasi
Keterlibatan aktif
mahasiswa dalam gelombang demonstrasi menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia
tidak apatis terhadap kondisi bangsa. Namun, eskalasi kekerasan dan penangkapan
massal menunjukkan perlunya evaluasi terhadap cara penyampaian aspirasi dan
respons negara terhadap kritik publik.
Demonstrasi mahasiswa
mencerminkan dua hal sekaligus: vitalitas demokrasi Indonesia dan kerapuhan
sistem dalam mengelola perbedaan pendapat. Di satu sisi, partisipasi aktif
generasi muda menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup. Di sisi lain, eskalasi
kekerasan menunjukkan bahwa mekanisme dialog dan mediasi belum berfungsi
optimal.
Mencari Keseimbangan:
Stabilitas vs Perubahan
Indonesia saat ini berada
dalam pencarian keseimbangan antara kebutuhan stabilitas dan tuntutan
perubahan. Pemerintahan baru memerlukan ruang untuk mengimplementasikan visi
dan programnya, namun juga harus responsif terhadap aspirasi masyarakat yang
semakin kritis.
Tantangan utama adalah
bagaimana menciptakan ruang dialog yang konstruktif antara pemerintah dan
masyarakat sipil. Represi tidak akan menyelesaikan akar masalah, sementara
chaos juga tidak akan membawa perbaikan yang diharapkan.
Harapan di Tengah
Tantangan
Meskipun menghadapi
berbagai tantangan, Indonesia memiliki modal dasar yang kuat. Stabilitas
ekonomi makro yang relatif terjaga, komitmen terhadap program-program strategis
seperti FOLU Net Sink 2030, dan semangat demokrasi yang masih hidup memberikan
fondasi untuk optimisme yang realistis.
Yang dibutuhkan adalah
kepemimpinan yang mampu menerjemahkan visi besar menjadi perbaikan konkret
dalam kehidupan masyarakat, serta kemampuan untuk mengelola aspirasi publik
melalui dialog yang bermartabat.
Penutup: Momentum Refleksi
dan Transformasi
Indonesia di awal
September 2025 adalah bangsa yang sedang mengalami ujian demokrasi. Gejolak
yang terjadi bukan pertanda kehancuran, melainkan proses alamiah dalam
demokrasi yang sehat—meskipun perlu dikelola dengan lebih bijaksana.
Sebagai bangsa yang telah
melewati berbagai krisis sepanjang sejarah, Indonesia memiliki resiliensi yang
terbukti. Yang dibutuhkan saat ini adalah kebijaksanaan kolektif untuk mengubah
tantangan menjadi momentum transformasi, mengubah kritik menjadi perbaikan, dan
mengubah gejolak menjadi energi konstruktif untuk membangun Indonesia yang
lebih baik.
Kondisi bangsa hari ini
adalah cermin dari pilihan-pilihan yang telah kita buat, dan kondisi bangsa
esok adalah hasil dari keputusan yang kita ambil hari ini. Mari kita pilih
jalan dialog, konstruktivitas, dan komitmen bersama untuk Indonesia yang lebih adil
dan sejahtera.
0 Komentar