![]() |
Aliyah Putri |
Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) terhadap para mantan pemain sirkus membuka kembali perdebatan tentang efektivitas perlindungan konstitusional terhadap HAM di Indonesia. Terutama, implementasi Pasal 28B dan 28I UUD 1945 yang menjamin hak atas perlindungan keluarga, martabat manusia, dan perlakuan tanpa diskriminasi. Dalam kasus OCI, muncul dugaan eksploitasi anak, kekerasan fisik dan psikis, serta pengabaian hak-hak dasar para pemain sirkus selama bertahun-tahun. Tinjauan kritis terhadap implementasi pasal-pasal tersebut penting untuk menilai sejauh mana negara hadir dalam melindungi warga negara dari praktik pelanggaran HAM yang terorganisir dan terselubung.
Permasalahan ini tidak dapat hanya direduksi menjadi persoalan ketenagakerjaan semata, melainkan harus dilihat sebagai bentuk pelanggaran HAM yang serius. Industri pertunjukan, khususnya sirkus, selama ini terlanjur dikenal dari sisi glamornya, tanpa mengungkap sisi kelam yang dialami para pekerjanya. Fakta bahwa laporan pelanggaran serupa telah muncul berulang kali pada tahun 1997, 2004, dan terakhir 2024 menunjukkan pola pelanggaran yang belum pernah ditangani secara tuntas dan sistematis.
Pelanggaran terhadap hak anak, seperti pengabaian atas hak identitas, pendidikan, dan perlindungan dari eksploitasi ekonomi, mencerminkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan yang menyeluruh. Ini juga memperlihatkan bahwa berbagai rekomendasi dari Komnas HAM belum ditindaklanjuti dengan reformasi kebijakan yang signifikan. Ketika negara gagal menjalankan peran pelindungnya, maka yang terjadi adalah pengingkaran terhadap kewajiban konstitusional sebagai penjaga hak-hak dasar warganya.
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam konteks OCI, bila terbukti ada praktik eksploitasi anak, maka pelanggaran terhadap ketentuan ini menjadi nyata. Pasal ini merupakan bagian dari non-derogable rights, yaitu hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk dalam relasi kerja informal seperti di dunia sirkus.
Sementara itu, Pasal 28I ayat (1) menjamin hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan pikiran dan hati nurani, serta perlakuan yang manusiawi. Bila laporan mengenai penyiksaan atau kekerasan terhadap para pemain sirkus terbukti benar, maka negara wajib bertindak karena telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang bersifat non-derogable dan jus cogens—prinsip-prinsip hukum internasional yang tidak dapat ditawar atau diabaikan.
Lebih lanjut, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 4 menegaskan bahwa hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan memperoleh rasa aman adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Selain itu, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan tegas mengamanatkan perlindungan anak dari eksploitasi dan kekerasan, sementara UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) membuka kemungkinan pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku eksploitasi dalam industri hiburan.
Polda Jawa Barat menyatakan belum menerima laporan resmi terkait dugaan eksploitasi ini dan menyebut kasus tersebut telah kedaluwarsa karena kejadiannya terjadi sejak tahun 1970-an. Namun demikian, para korban telah menyampaikan kesaksian langsung kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, pada 15 April lalu, menyatakan bahwa praktik kekerasan dan eksploitasi terhadap anak telah berlangsung secara sistemik sejak dekade itu. Mugiyanto menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan sekadar kekerasan, tetapi merupakan bentuk pelanggaran HAM. Sebagai respons awal, Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan audiensi dan akan memanggil pihak Taman Safari Indonesia untuk memperoleh klarifikasi lebih lanjut.
Langkah tersebut patut diapresiasi, namun tidak cukup apabila tidak diikuti dengan penyelidikan menyeluruh dan penegakan hukum yang konkret. Di sisi lain, pihak Taman Safari Indonesia membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa mereka adalah entitas berbeda dari OCI serta tidak memiliki hubungan kerja langsung dengan para pemain sirkus. Komisaris Tony Sumampau bahkan mencurigai adanya aktor di balik tuduhan ini dan menyatakan akan menempuh jalur hukum.
Meski secara hukum kedua entitas itu mungkin terpisah, publik tetap mempertanyakan sejauh mana keterlibatan atau kerja sama tidak langsung antara keduanya, terlebih bila pertunjukan sirkus OCI menjadi bagian dari wahana hiburan di Taman Safari. Dalam konteks ini, tanggung jawab moral dan sosial tetap melekat, bahkan jika tidak ada hubungan legal-formal secara langsung.
Kasus ini telah memicu reaksi keras dari masyarakat. Muncul gerakan boikot terhadap Taman Safari sebagai bentuk tekanan sosial. Psikolog forensik Reza Indragiri bahkan turut menyerukan boikot tersebut sebagai sanksi sosial untuk membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan HAM di seluruh sektor, termasuk dunia hiburan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil kini semakin aktif mengawal isu-isu kemanusiaan. Media sosial menjadi instrumen advokasi yang efektif dalam menekan kekuasaan dan mendorong akuntabilitas korporasi. Ini merupakan momentum penting yang harus dimanfaatkan pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap pemajuan HAM. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan keadilan akan terus tergerus.
Sudah saatnya negara hadir secara nyata. Tidak cukup hanya dengan audiensi dan klarifikasi, melainkan diperlukan penyelidikan independen, pemulihan menyeluruh bagi korban, serta penegakan hukum terhadap pihak yang terbukti bertanggung jawab. Jika terbukti ada unsur perdagangan orang atau pelanggaran HAM sistemik, maka tindakan tegas dan adil adalah satu-satunya jalan untuk memulihkan keadilan dan menjaga martabat konstitusi kita.
0 Komentar