Urgensi Undang-Undang Perampasan Aset: Perspektif Fiqh Siyasah

Muhammad Akram Nurdin

Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler. Tetapi Indonesia adalah negara beragama. Dimana setiap warga negara dilindungi oleh konstitusi untuk menyakini dan memeluk agama yang dia yakini. Nilai-nilai beragama diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Artinya, secara tidak langsung nilai-nilai dalam beragama juga diakui eksistensinya sebagai suatu norma dalam sistem hukum di Indonesia. Maka dari itu, setiap aparat penegek hukum atau pihak-pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum, serta pemerintah seyogianya memegang nilai-nilai agama dalam memberikan dan mewujudkan keadilan, kepastian, serta kebermanfaatan dalam penegakan hukum bagi setiap warga negara.

Hukum islam dalam Ushul Fiqh mengatur bahwa Maqasid As-Syari’ah (Tujuan hukum dalam Islam) setidaknya ada lima, yaitu: Hifz al-Din (Menjaga agama), Hifz al-Nafs (Menjaga jiwa), Hifz al-‘Aql (Menjaga akal), Hifz an-Nasab (Menjaga keturunan), dan Hifz Mal (Menjaga harta).

Dalam perspektif fiqh siyasah, merampas aset yang dimiliki para narapida korupsi adalah salah satu perwujudan dari Maqasid As-Syariah yakni menjaga harta dan merupakan langkah yang efektif untuk merespon keresahan dari masyarakat untuk mewujudkan transparansi dalam pemerintahan dan penegakan hukum, memutus mata rantai korupsi yang merugikan keuangan negara, serta memberikan rasa jerah bagi koruptor. Perampasan aset ini memiliki pembahasan tersendiri di dalam fiqh siyasah, yakni pada pembahasan Fiqh Siyasah Maliyah.

Jika ditinjau dari perspektif Siyasah Maliyah diberlakukannya Undang-Undang Perampasan Aset merupakan hal yang sangat penting, sebab regulasi ini memiliki kebermanfaatan yang  berkelanjutan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh korupsi tanpa menunggu putusan pengadilan yang memerlukan waktu yang relatif lama.

Di Indonesia sendiri, regulasi yang mengatur tentang perampasan aset ini sebenarnya telah lama ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tetapi, ketentuan perampasan aset tersebut, masih memakai mekanisme konvensional yakni harus melalui putusan pengadilan. Sebagaimana didalam KUHP  Pasal  10  Huruf  (b) Tentang Jenis-Jenis Pidana.

Perlu diketahui pula bahwa, dalam fiqh (hukum islam) ada sebuah prinsip yang dikenal dengan Ghasb, prinsip ini menyatakan larangan dalam perampasan/penguasaan atas harta yang dimiliki seseorang tanpa alasan yang sah. Artinya bahwa pada saat Undang-Undang Perampasan Aset ini diterapkan pada saat itupula hak-hak individual harus tetap terjamin. Perampasan aset harus didasari oleh proses hukum yang jelas, adil, transparan, dan disertai bukti-bukti yang sah dalam penerapannya.

Dalam penerapan undang-undang perampasan aset ini nantinya, pemerintah juga diharapkan dapat bertindak secara tegas tanpa memandang strata sosial. Pengimplementasian undang-undang ini nantinya juga harus diawasi oleh lembaga negara independen yang didalamnya diisi oleh orang-orang yang berintegritas, agar nantinya tidak ada Abouse of Power dalam penerapannya.

Secara jelas, urgensi Undang-Undang Perampasan Aset dalam fiqh siyasah menunjukkan betapa pentingya undang-undang tersebut untuk segara diterapakan. Sebab, kebermanfaatan yang dapat diperoleh dari penerapan undang-undang ini dapat berkelanjutan bagi sistem pemerintahan dan penerapan hukum di Indonesia. Salah satu manfaatnya dapat mengoptimalkan pembangunan infrastruktur yang saat ini banyak terhambat oleh korupsi.



0 Komentar