Ketika Jalan Raya Jadi Medan Duka: Ojol, Keselamatan, dan Keadilan yang Tertunda

 

Ketika Jalan Raya Jadi Medan Duka: Ojol, Keselamatan, dan Keadilan yang Tertunda

Nurul Auliyah

Jalan raya seharusnya menjadi ruang yang aman bagi semua pengguna, mulai dari pejalan kaki, pengendara, hingga para pekerja transportasi berbasis aplikasi yang kini menjadi bagian penting dari keseharian masyarakat. Namun, kenyataan berbicara lain: jalan raya kerap menjelma menjadi medan duka. Kabar duka tentang pengemudi ojek online (ojol) yang terlindas atau menjadi korban kecelakaan lalu lintas bukan lagi hal yang asing.

Di balik jas hujan, helm, dan seragam hijau yang kerap kita lihat di jalanan, ada manusia-manusia yang sedang berjuang keras demi menghidupi keluarganya. Mereka bekerja dalam tekanan waktu, risiko cuaca, serta ketidakpastian pendapatan. Sayangnya, keselamatan mereka justru sering terabaikan. Negara belum sepenuhnya hadir untuk memberikan perlindungan yang nyata, sementara perusahaan aplikasi lebih sibuk berbicara soal efisiensi dan persaingan tarif.

Tragedi yang menimpa para ojol bukan hanya masalah kecelakaan individual. Ia adalah potret ketidakadilan struktural. Regulasi tentang keselamatan kerja, perlindungan sosial, hingga tanggung jawab perusahaan aplikasi terhadap mitra masih lemah. Banyak pengemudi yang belum memiliki akses jaminan kesehatan, apalagi jaminan kecelakaan kerja yang layak. Setiap kali insiden terjadi, publik hanya disuguhi berita tragis, tanpa ada perubahan berarti dari pihak-pihak berwenang.

Tak heran jika gelombang demonstrasi yang dilakukan para pengemudi ojol muncul di berbagai kota. Aksi-aksi itu bukan sekadar tentang tarif yang dinilai tidak manusiawi, melainkan juga jeritan panjang mengenai perlindungan yang tak kunjung datang. Suara helm hijau di jalanan adalah peringatan keras bagi pemerintah dan perusahaan aplikasi bahwa ada hak-hak yang ditunda, ada keadilan yang diabaikan.

Keselamatan di jalan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama: pemerintah sebagai regulator, perusahaan aplikasi sebagai penyedia lapangan kerja, dan masyarakat sebagai pengguna jasa. Jika ketiga elemen ini gagal bersinergi, maka jalan raya akan terus menjadi kuburan sunyi bagi para pekerja keras yang mestinya kita hormati.

Kini saatnya kita berhenti menganggap kecelakaan lalu lintas yang menimpa para ojol sebagai “nasib buruk” semata. Setiap nyawa yang hilang adalah panggilan moral. Negara perlu memperkuat regulasi, menegakkan hukum dengan tegas, dan memastikan perlindungan sosial benar-benar hadir. Perusahaan aplikasi pun wajib ikut bertanggung jawab, bukan hanya menikmati keuntungan dari keringat para mitranya.

Karena sejatinya, mencari nafkah tidak seharusnya identik dengan mempertaruhkan nyawa di jalanan. Dan ketika jalan raya berubah menjadi medan duka, itu artinya ada sesuatu yang serius sedang tertunda: keselamatan, keadilan, dan kemanusiaan.

0 Komentar