Refleksi Maulid Nabi di Tengah Krisis Etika Profetik dalam Demokrasi dan Penegakan Hukum
Syafa’at Anugrah Pradana
(Ketua Prodi Hukum Tata Negara)
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
selalu menjadi momen penting bagi umat Islam untuk meneguhkan kembali
keteladanan Rasulullah. Bukan sekadar acara seremonial, Maulid seharusnya
menjadi ruang refleksi: sejauh mana nilai-nilai profetik Nabi masih hidup dalam
praktik kepemimpinan dan hukum kita hari ini.
Realitas yang kita saksikan kerap
menghadirkan ironi. Demokrasi yang mestinya menjadi wadah representasi rakyat
justru makin kehilangan legitimasi. Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, sering
dipersepsi lebih condong membela kepentingan partai dan kelompok elit daripada
memperjuangkan suara rakyat. Begitu pula dalam bidang hukum, masyarakat
menyaksikan praktik penegakan hukum yang diskriminatif: tajam ke bawah, tumpul
ke atas. Fenomena ini sesungguhnya menandakan krisis etika profetik—nilai
siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah yang menjadi fondasi kepemimpinan Nabi
seakan hilang dari panggung politik dan hukum kita.
Al-Qur’an sendiri menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah
kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:
58). Ayat ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan politik maupun hukum adalah
amanah yang wajib dijalankan dengan penuh keadilan.
Adagium klasik vox populi vox Dei—suara
rakyat adalah suara Tuhan—semestinya menjadi roh demokrasi. Namun adagium itu
kehilangan makna ketika aspirasi rakyat tidak lagi diakomodasi secara jujur.
Beberapa produk legislasi mutakhir, seperti UU Cipta Kerja atau revisi UU KPK,
justru menuai kritik luas karena lebih menguntungkan kepentingan segelintir
kelompok. Kondisi ini jelas mencederai prinsip salus populi suprema lex esto—keselamatan
rakyat adalah hukum tertinggi. Ketika kepentingan rakyat terpinggirkan, demokrasi
tidak lebih dari formalitas belaka.
Krisis etika profetik juga nyata
terlihat dalam praktik penegakan hukum. Banyak kasus besar tak berujung pada
keadilan substantif, sementara rakyat kecil dihukum tanpa kompromi. Hal ini
bertentangan dengan prinsip fiat justitia ruat caelum—tegakkan keadilan
meskipun langit runtuh. Rasulullah sendiri pernah menolak intervensi elite
Quraisy dalam kasus pencurian seorang wanita bangsawan. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu ialah apabila ada
orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan; tetapi apabila ada
orang lemah di antara mereka mencuri, mereka tegakkan hukum atasnya. Demi
Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong
tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Pesan Nabi ini sejalan dengan prinsip equality
before the law yang kini menjadi dasar negara hukum modern.
Namun realitas kita justru
berkebalikan. Hukum sering kali lebih berfungsi sebagai alat kekuasaan,
sebagaimana adagium sinis law is a tool of the ruling class. Akibatnya,
masyarakat kehilangan kepercayaan, dan hukum pun kehilangan legitimasi moral.
Jalan keluar dari krisis ini adalah
kembali meneguhkan nilai-nilai profetik dalam demokrasi dan hukum. Siddiq
menuntut kejujuran dalam pembuatan kebijakan; amanah mengharuskan
pemimpin setia pada mandat rakyat; tabligh mengingatkan pentingnya
transparansi; dan fathanah menuntut kecerdasan serta kebijaksanaan agar
hukum benar-benar menghadirkan kemaslahatan.
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah
momentum untuk mengingatkan bahwa kepemimpinan bukanlah ruang transaksi,
melainkan amanah. Demokrasi tanpa etika profetik hanyalah kerangka kosong, dan
hukum tanpa etika profetik hanyalah instrumen kekuasaan. Karena itu, DPR,
aparat penegak hukum, dan seluruh pemimpin bangsa sudah semestinya bercermin
pada sirah Nabi. Rasulullah telah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang jujur,
amanah, adil, dan cerdas adalah fondasi sejati bagi tegaknya demokrasi dan
hukum yang berkeadilan.
Momentum Maulid ini seharusnya menjadi
seruan moral: ubi societas, ibi ius—di mana ada masyarakat, di situ ada
hukum. Namun hukum itu hanya bermakna jika ditegakkan dengan nilai kejujuran,
amanah, transparansi, dan kecerdasan, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad
SAW.
0 Komentar