Maulid di Republik Para Pangeran: Autopsi Spiritual Sebuah Amanah yang Tergadai

 

Maulid di Republik Para Pangeran: Autopsi Spiritual Sebuah Amanah yang Tergadai

Dirga Achmad

Di setiap sudut negeri, gema selawat dan semarak perayaan Maulid Nabi kembali menjadi penanda spiritual tahunan. Dalam tradisi Bugis-Makassar yang kaya filosofi, aroma Sokko’ (nasi ketan) yang menyimbolkan persatuan dan hiasan Tello’ (telur) sebagai lambang kelahiran baru, diarak dalam sebuah perayaan penuh syukur. Namun, di tengah realitas ketatanegaraan Indonesia hari ini, perayaan agung ini terasa seperti sebuah ironi yang getir, sebuah seremoni yang kontrasnya begitu telanjang dengan praktik kekuasaan. Maulid, yang seharusnya menjadi momen refleksi untuk meneladani akhlak mulia Rasulullah, kini justru menjadi panggung yang paling tepat untuk menggelar sebuah autopsi spiritual atas bangkai moralitas politik kita. Dengan menggunakan empat sifat agung Rasul—Siddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah—sebagai pisau bedah, mari kita kuliti lapisan-lapisan patologi yang menggerogoti tubuh republik ini.

Siddiq: Kejujuran yang Terkubur di Bilik Suara

Titik nol dari segala kerusakan sistemik hari ini dapat dilacak ke fondasi paling dasarnya: kejujuran. Sifat Siddiq (jujur) adalah prasyarat mutlak bagi lahirnya kekuasaan yang sah. Namun, apa yang kita saksikan dalam orkestrasi “pesta demokrasi” seperti Pemilu 2024 adalah sebuah nekrokrasi moral, di mana kejujuran telah lama mati dan dikubur. Kita dituntut melakukan evaluasi total atas sebuah proses yang diwarnai oleh transaksi fajar dan politik uang yang tak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan telah menjadi sebuah kewajaran pasar gelap di mana suara rakyat diobral seperti komoditas grosir. Ini bukan lagi sekadar jual beli suara, ini adalah privatisasi kedaulatan rakyat di tingkat paling vulgar.

Lebih jauh, netralitas aparat negara yang seharusnya menjadi wasit yang adil, justru berubah peran menjadi pemain cadangan bahkan waterboy bagi tim petahana, menggunakan sumber daya negara sebagai alat untuk memenangkan kontestasi. Puncaknya adalah sulap angka di ruang-ruang rekapitulasi, sebuah perkosaan terhadap data dan logika matematika yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari validitas elektoral. Ketika gerbang kekuasaan saja sudah dijebol dengan linggis kebohongan, manipulasi, dan transaksi haram, maka segala produk yang lahir darinya—kebijakan, undang-undang, dan pejabat—secara inheren membawa cacat moral sejak dalam kandungan.

Amanah: Mandat Beli Putus dan Darah di Jalanan

Jika Siddiq adalah gerbangnya, maka Amanah (dapat dipercaya) adalah ruh dari kekuasaan itu sendiri. Namun, ruh ini telah menguap, digantikan oleh pragmatisme beku. Demokrasi kita diperlakukan seperti akad “beli putus”; setelah bilik suara ditutup dan tinta di kuku mengering, mandat yang dititipkan rakyat segera diantar ke markas partai untuk dinegosiasikan dalam kamar-kamar gelap, bukan dibawa pulang ke daerah pemilihan untuk diperjuangkan. Wakil rakyat bermetamorfosis menjadi duta besar partai di parlemen, yang kesetiaannya diukur dari kepatuhan pada instruksi ketua umum, bukan pada jeritan konstituen.

Mekanisme recall, yang dalam teori demokrasi adalah pedang di tangan rakyat untuk menghukum wakilnya yang berkhianat, di sini justru berfungsi sebagai kalung kejut elektrik di tangan elite partai untuk menyetrum kadernya yang berani kritis atau keluar dari barisan. Puncak dari pengkhianatan amanah yang memuakkan ini adalah ketika arogansi kekuasaan dipertontonkan tanpa sensor. Di tengah dalih beratnya beban keuangan negara yang dijawab dengan kenaikan pajak yang mencekik leher rakyat, para wakil yang terhormat itu justru tanpa malu ber-euforia atas kenaikan gaji dan tunjangan untuk diri mereka sendiri. Ini bukan lagi sekadar kebijakan yang tidak sensitif, ini adalah sebuah deklarasi perang terhadap nalar publik. Maka jangan salahkan jika bendungan kesabaran publik akhirnya jebol, dan jalanan menjadi mimbar terakhir bagi rakyat yang putus asa, sekalipun harus dibayar dengan darah dan nyawa saat aspirasi hanya dijawab dengan gas air mata dan pentungan.

Tabligh & Fathonah: Dialog yang Bisu dan Matinya Nalar Publik

Kerusakan ini semakin sempurna dengan lumpuhnya sifat Tabligh (menyampaikan/komunikatif) dan Fathonah (cerdas). Tabligh yang seharusnya mewujud dalam ruang dialog yang partisipatif, kini menjadi komunikasi propagandistik satu arah. Proses legislasi seringkali berjalan dalam sebuah “kotak hitam”; aspirasi publik seolah didengar dalam rapat dengar pendapat yang seremonial, namun produk undang-undang yang keluar tetaplah cerminan dari titipan para pemodal dan oligarki.

Ketiadaan dialog yang sehat ini secara langsung membunuh Fathonah. Kebijakan cerdas tidak mungkin lahir dari ruang hampa yang anti-kritik. Ketiadaan Fathonah ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari sebuah desain sistemik: matinya kepakaran. Mimbar-mimbar akademik dan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi mercusuar nalar dan nurani bangsa, kini dikekang, diintimidasi, dan digoda dengan insentif agar suaranya seragam dengan narasi kekuasaan. Mereka dipaksa menjadi pabrik stempel legitimasi, bukan lagi sumber kritik yang mencerahkan. Wasiat Rasulullah ‘qulil haqqa walau kaana murran’—katakanlah yang benar sekalipun itu pahit—dikubur hidup-hidup, digantikan oleh mazhab baru penguasa: “sembunyikan kebenaran jika mengganggu kenyamanan.”

Solusi Struktural: Merebut Kembali Rumah Konstitusi

Menghadapi patologi yang sudah stadium akhir ini, seruan moral dari mimbar-mimbar Maulid saja tidak akan cukup. Ia harus disertai dengan sebuah gerakan untuk melakukan restorasi terhadap mesin ketatanegaraan. Solusinya harus bersifat struktural, merebut kembali rumah konstitusi yang telah disandera. Pertama, merebut kembali mekanisme recall ke tangan rakyat, menciptakan sebuah tombol darurat kedaulatan yang memungkinkan konstituen untuk memecat wakilnya yang mbalelo, tak hanya sekedar menyatakan “non-aktif” bagi kader parpol yang tak lagi disuka rakyat, yang pada ujungnya akan diaktifkan kembali. Kedua, merevitalisasi total mekanisme checks and balances, di mana parlemen memiliki taring untuk memakzulkan, dan yudikatif memiliki independensi untuk membatalkan produk hukum yang cacat konstitusional. Ketiga, membangun “benteng api” institusional yang kokoh di sekeliling lembaga-lembaga penegak hukum dan komisi independen, agar kebal dari virus intervensi politik.

Pada akhirnya, Maulid yang sejati bukanlah sekadar seremoni melantunkan puji-pujian. Maulid yang sejati adalah sebuah proklamasi perlawanan terhadap kezaliman dan kebodohan struktural. Momentum ini adalah panggilan untuk menagih secara paksa agar telur harapan yang kita titipkan saat pemilu tidak hanya menjadi pajangan busuk di etalase kekuasaan. Kita harus memastikan ia menetas, dan yang keluar darinya adalah generasi emas yang berdaulat dan berkeadilan, bukan monster oligarki buas yang akan memangsa masa depan anak cucu kita.

 

 

0 Komentar