Maulid Nabi, Gamaliel, dan Piagam Madinah


 

Maulid Nabi, Gamaliel, dan Piagam Madinah

Oleh : Rusdianto Sudirman 

Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 


Peringatan Maulid Nabi Muhammad selalu menjadi momentum reflektif bagi umat Islam. Setiap kali maulid digelar, umat diajak meneladani akhlak Nabi, kasih sayang, keadilan, kesetaraan, dan penghormatan atas kemanusiaan. Namun, ironi kerap mengiringi gema pujian atas akhlak Nabi tidak jarang teredam oleh praktik intoleransi di lapangan.

Peristiwa penolakan keberadaan Sekolah Kristen Gamaliel parepare sampai saat ini masih bergulir di Pengadilan Negeri Parepare. Ini menjadi cermin retak relasi antarumat beragama di negeri yang mengaku berlandaskan Pancasila.

Intoleransi semacam ini bukanlah kasus tunggal. Dari penolakan pembangunan gereja dibeberapa daerah, tekanan terhadap minoritas agama, hingga diskriminasi dalam pergaulan sosial, polanya berulang. Yang menyedihkan, semua itu justru terjadi di tengah-tengah bangsa yang mayoritas warganya memeluk Islam agama yang dalam sejarahnya dibawa Nabi dengan spirit rahmatan lil alamin.

Padahal, bila kita kembali ke akar sejarah, Nabi Muhammad telah memberi teladan luar biasa tentang bagaimana mengelola keragaman. Piagam Madinah dokumen politik pertama yang lahir pada abad ke-7 menjadi bukti. Dalam piagam itu, Nabi tidak hanya mengatur komunitas Muslim, tetapi juga Yahudi, Nasrani, dan kelompok masyarakat di Madinah.

Piagam Madinah atau Mitsaq al-Madinah adalah kontrak sosial yang menegaskan prinsip hidup berdampingan. Nabi menegaskan bahwa semua kelompok, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah bagian dari satu ummah (komunitas politik). Kebebasan beragama dijamin, hak hidup dan harta dilindungi, serta kewajiban membela Madinah dari ancaman luar berlaku bagi semua, tanpa memandang agama.

Dengan kata lain, Piagam Madinah adalah konstitusi multikultural pertama di dunia Islam. Ia melampaui sekadar perjanjian damai, ia adalah pilar awal negara hukum dalam tradisi Islam. Nabi tidak menempatkan mayoritas sebagai tirani atas minoritas, melainkan menyeimbangkan kepentingan bersama.

Maka, bila hari ini ada umat Islam yang menolak keberadaan sekolah Kristen hanya karena berbeda keyakinan, itu sejatinya bukan meneladani Nabi, melainkan menyalahi piagam yang beliau buat sendiri.

Maulid Nabi di Indonesia sering dirayakan dengan gegap gempita, shalawat, tabligh akbar, dan pesta rakyat. Tetapi esensi peringatan kerap berhenti pada seremonial. Kita lupa bahwa Nabi diutus bukan sekadar untuk dibacakan riwayat kelahirannya, melainkan diteladani sikap politik dan sosialnya.

Sikap Nabi kepada komunitas Kristen di Najran, misalnya, sangat jauh dari praktik penolakan yang kini kita saksikan. Beliau menerima delegasi mereka di Masjid Nabawi, bahkan membiarkan mereka beribadah di dalam masjid. Itulah wajah Islam yang sebenar-benarnya ramah, terbuka, dan beradab.

Ketika sebagian warga menolak sekolah Kristen Gamaliel, sesungguhnya mereka tidak sedang membela Islam, melainkan menodai Islam itu sendiri. Intoleransi yang dibungkus atas nama agama hanya akan melahirkan jurang kebencian, bukan ukhuwah.

Sebagai dosen hukum tata negara, saya melihat persoalan ini bukan sekadar urusan moral keagamaan, tetapi juga menyangkut legitimasi konstitusional. UUD 1945 dengan jelas menjamin kebebasan beragama. Pasal 28E ayat (1) menegaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 29 ayat (2) memperkuatnya, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Dalam konteks inilah, Piagam Madinah dan UUD 1945 bertemu. Keduanya mengafirmasi hak minoritas dan menolak hegemoni mayoritas. Bila negara membiarkan intoleransi merajalela, berarti negara sedang mengingkari konstitusi dan teladan Nabi.

Ironisnya, aparat negara sering gagap menghadapi penolakan berbasis intoleransi. Alih-alih menegakkan hukum, negara memilih berdamai dengan tekanan kelompok mayoritas. Dalih “kearifan lokal” atau “ketertiban umum” dipakai untuk membatasi hak minoritas. Padahal, justru di situlah ujian kenegarawanan, berani menegakkan konstitusi meski tidak populer.

Peringatan Maulid Nabi semestinya menjadi titik balik, sejauh mana kita benar-benar mengikuti jejak beliau? Bila intoleransi masih dibiarkan, maka yang kita rayakan bukanlah kelahiran sang pembawa rahmat, melainkan kelahiran simbol yang dikerdilkan.

Intoleransi juga menggerus sendi negara hukum. Bagaimana mungkin kita bicara supremasi hukum, bila hukum hanya tunduk pada suara mayoritas? Bagaimana kita bicara persatuan, bila hak warga negara ditentukan oleh perbedaan agama?

Piagam Madinah menunjukkan bahwa sejak awal Islam memandang keragaman sebagai keniscayaan. Nabi Muhammad menjadikan pluralitas sebagai fondasi politik, bukan ancaman. Karenanya, intoleransi modern terhadap sekolah Gamaliel adalah kemunduran peradaban. Ia bukan sekadar masalah hubungan antaragama, tetapi masalah serius bagi demokrasi konstitusional kita.

Maulid Nabi kali ini semestinya kita jadikan refleksi nasional, apakah kita benar-benar sedang meneladani Nabi, atau hanya sekadar melafalkan shalawat sambil membiarkan intoleransi tumbuh subur?

Menurut penulis,  Belajar dari Piagam Madinah, ada tiga hal yang mesti ditegakkan. Pertama, Kesetaraan warga negara , tidak ada kelompok yang boleh diperlakukan lebih rendah hanya karena agamanya. Kedua, Perlindungan minoritas,  mayoritas justru berkewajiban menjaga hak kelompok kecil, sebagaimana Nabi menjaga Yahudi di Madinah. Dan yang ketiga Supremasi hukum , negara tidak boleh tunduk pada tekanan massa, tetapi teguh menegakkan konstitusi.

Bila nilai-nilai ini hidup, maka Maulid Nabi benar-benar menjadi momentum lahirnya kembali masyarakat yang adil dan toleran. Sebaliknya, bila intoleransi terus dibiarkan, kita hanya mengulang perayaan yang hampa makna.

Nabi Muhammad pernah berkata, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Maka, tidak ada gunanya mengaku cinta Nabi bila kita menolak keberadaan sesama anak bangsa yang ingin mendidik generasi lewat sekolah.

Di atas fondasi Piagam Madinah, kita mestinya membangun Indonesia sebagai rumah bersama, teduh bagi semua agama, aman bagi semua keyakinan. Itulah warisan sejati Nabi yang harus kita rayakan dalam setiap Maulid.


0 Komentar