HIKMAH
MAULID NABI MUHAMMAD SAW
PERSEPEKTIF
SOSIAL POLITIK DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Abdul Hafid, M.Si.
“Kacang lupa akan kulitnya”, suatu ungkapan
yang biasanya ditujukan kepada orang-orang yang kurang pandai berterima kasih,
balas budi dan tahu diri terhadap terhadap orang-orang yang sudah cukup
berjasa, ikut serta, dan berperan banyak serta penting dalam menghadirkan
(menyukseskan) sesuatu hal.
Dinamika sosial politik di tanah air
kita dua pekan ini, tampak adanya ketegangan sekaligus persinggungan yang
terjadi antara dua pihak, yakni antara pihak masyarakat yang memamerkan
kuasanya dalam bentuk legitimasi dan pihak pemerintahan yang juga memamerkan
kuasanya dalam bentuk authority. Konflik yang terjadi antara kedua belah pihak ini
tentunya didasari oleh akumulasi
banyaknya persoalan yang dialami masyarakat dan juga banyaknya masalah
yang terdapat dilevel pemerintahan, kesemuanya ini pada akhirnya menimbulkan
letupan atau gejolak dengan skala dan intensitas tertentu, dan problematika sosial
politik ini tentunya membutuhkan penyelesaian (konsensus) sesegera mungkin dan
juga tepat.
Dalam rangka merespon dinamika sosial
politik tersebut diatas, maka disatu sisi, dalam kacamata sosial kemasyarakatan
bahwasanya ungkapan “kacang lupa akan kulitnya” inilah yang mungkin salah
satunya cukup pantas ditujukan kepada para politisi dinegeri ini yang secara defacto dan dejure sedang berkuasa saat ini, baik dilegislatif maupun dieksekutif).
Artinya keberadaan para penguasa di negeri ini, mestinya jangan pernah
melupakan jasa-jasa dan juga jangan sekali-kali mengabaikan kepercayaan yang
diberikan oleh rakyat melalui pemilihan umum kepada mereka-mereka yang sudah
berada di level pemerintahan.
Perlu diingat siklusnya demokrasi, masyarakat
membentuk partai politik guna menghadirkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan
kehadiran lembaga-lembaga pemerintahan yang ada dijadikan sebagai sarana (instrumen) maupun alat (tool) untuk mewujudkan apa yang
diinginkan oleh masyarakat yang tercantum secara tertulis didalam suatu
konstitusi yang biasanya disebut dengan tujuan negara. Artinya dalam hal ini
adalah pemilik sah yang namanya pemerintahan itu adalah masyarakat, atau dengan
kata lain bahwa pemerintahan yang terdiri atas unsur struktur dan aparatur itu pada
hakikatnya adalah pembantunya masyarakat. Disinilah pentingnya partai politik -
yang lahir dari rahim masyarkat yang berdaulat (daulat rakyat) - diadakan dalam
suatu negara yang melabeli dirinya sebagai negara demokrasi, dalam konteks
Negara Republik Indonesia paling tidak kita dapat menyatakan dalam hal ini bahwa
“No Indonesia without democracy, no democracy
without politics, no politics without parties, and no parties without society”.
Secara sederhana, dalam konteks keIndonesiaan,
sebenarnya kepentingan masyarakat dinegeri ini (dalam segala aspek kehidupannya)
hanya ingin diurusi dan dikelola oleh pemerintahan yang ada secara benar, baik
dan juga indah. Oleh karenanya substansi dihadirkannya pemerintahan dari masyarakat
cukuplah untuk mewujudkan “4M” yang positif saja yakni melindungi (bukan justru mengabaikan
masyarakat), menyejahterakan (bukan justru menyengsarakan masyarakat),
mencerdaskan (bukan justru menjahiliakan masyarakat), dan menertibkan (bukan
justru mengacaukan masyarakat).
Momentum peringatan maulid Nabi Muhammad
Saw dibulan ini kiranya dapat kita manfaatkan dan jadikan lagi sebagai waktu
rehat sejenak untuk kembali merenungi kepribadian yang dimiliki dan
dipertontonkan oleh Rasulullah Saw dalam sejarah hidupnya yang kurang lebih 10
tahun lamanya ketika berada di Madinah, khususnya yang terkait dengan urusan
sosial politik yang amat sangat perlu untuk kita teladani secara berjamaah di
negara ini, baik dari pihak masyarakat terlebih lagi dari pihak pemerintah
dalam arti yang luas. Adapun dasar argumentasinya antara lain: Pertama, Al-Qur’an,
tepatnya surah Al-Ahzab : 21 menginformasikan kepada kita bahwa “sungguh pada (diri) Rasulullah
benar-benar ada suri teladan (uswatun
hasanah) yang baik bagimu …”. Kedua, Rasulullah Saw sendiri menyatakan
bahwa “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur” (Hr.
Ahmad, Bukhari). Ketiga, Ibnu Sina menyatakan bahwa politik pada dasarnya
adalah akhlak. akhlak dan politik merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, karena jika akhlak lebih ditekankan pada hubungan yang seyogianya
terjadi antara individu dengan orang lain, maka politik menjangkau hubungan
yang seharusnya berlaku antara penguasa dengan rakyat umum. Keempat, Ibnu
Khaldun menyatakan bahwa kehancuran suatu Negara seringkali dimulai dari
kehancuran moral pemimpinnya. Dan kelima, Buya Hamka menyatakan bahwa suatu
bangsa bisa naik membumbung tinggi, disegani dan membawa manfaat bagi
kemanusiaan, selama akhlak bangsa itu masih tegak, dan sebaliknya suatu
bangsa akan berangsur-angsur tumbang apabila nilai-nilai
akhlak sudah tiada lagi.
Kalau selama ini, dominan beberapa pihak
dari kalangan pemerintah maupun ormas keagamaan dinegei ini memberikan
peringatan kepada mahasiswa dan warga masyarakat untuk memperbaiki akhlak
gerakan sosialnya dengan menyerukan untuk tidak melakukan aksi demonstrasi yang
anarkis, tidak merusak fasilitas umum, dan semacamnya, maka dalam hal ini
supaya lebih berimbang, lewat opini ini cukup bijak rasanya jikalau kita juga
memberikan peringatan kepada pihak pemerintah dalam arti yang luas sebagai
pembantu rakyat/masyarakat untuk memperbaiki akhlak politik kebangsaannya,
akhlak politik kenegaraannya, dan juga akhlak politik kekuasaannya kedepan.
Dalam
perspektif sosial politik, peringatan dan sekaligus substansi dari seruan yang
ditujukan kepada penguasa ini, antara lain: Pertama, perbaikilah niat politik, teladanilah Nabi Saw dalam kemampuannya
mendisain dan berpegang teguh pada konstitusi yang dulu disebut dengan piagam
madinah secara benar, baik dan juga indah, yang dalam konteks keIndonesiaan
adalah UUD 1945, serta fokus dan konsistenlah dalam menjalankan dan mewujudkan
semaksimal mungkin isi dari konstitusi
yang ada, terutama yang terkait dengan tujuan Negara (kepentingan besar warga
Negara) yang terdapat didalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Kedua, bukalah mata kepala, lihatlah
dan amatilah apa yang sedang diperbuat oleh warga masyarakat pasca pemilu
hingga saat ini, terutama dalam aspek ekonomi, apakah mereka disibukkan dengan
pekerjaan yang layak ataukah sebaliknya. Ketiga,
bukalah telinga, dengar dan simaklah dengan baik apa yang warga masyarakat
keluhkan dan teriakkan sebagaimana kita mendengarkan keluhan dan teriakan
anak-anak kita dirumah. Keempat, bukalah
hati, pandailah merasakan susasana dan kondisi kebatinan warga masyarakat kita
yang mayoritas penghidupannya masih tergolong kelas ekonomi bawah, dalam bahasa
agamanya disebut dengan mustadh’afin (orang-orang lemah/kurang berdaya), bisa
jadi mereka fakir ataukah miskin. Kasihanilah dan sekaligus sayangilah mereka
semuanya sebagaimana para penguasa mengasihi dan menyayangi keluarganya
sendiri. Kelima, bukalah mulut, dan
berbicaralah. Jangan menjauh, jangan menghindar apalagi menghilang dihadapan
warga masyarkat. Berdialoglah dengan mereka semua. Cerdaslah dalam memberikan
harapan, sekaligus bijaklah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada
dinegeri ini. Wallahu A’lam.
0 Komentar