Korupsi dan Ketidakadilan, Luka Lama Bangsa yang Belum Sembuh

 

Korupsi dan Ketidakadilan, Luka Lama Bangsa yang Belum Sembuh

Nur Emilia. S

Indonesia sering disebut sebagai negara hukum dan demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, realitas di lapangan kerap menunjukkan ironi: hukum masih lemah di hadapan kekuasaan, sementara praktik korupsi dan ketidakadilan terus berulang dari masa ke masa. Kondisi bangsa saat ini memperlihatkan bahwa cita-cita luhur konstitusi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari harapan.

Korupsi adalah masalah klasik yang seakan tidak pernah ada habisnya. Hampir setiap tahun publik disuguhi berita penangkapan pejabat negara, anggota legislatif, bahkan aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi. Fenomena ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Lebih parah lagi, korupsi menimbulkan lingkaran setan ketidakadilan. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan justru masuk ke kantong pribadi segelintir elit.

Akibatnya, muncul jurang yang semakin lebar antara mereka yang berkuasa dan rakyat kecil. Masyarakat bawah harus menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan sosial: akses pendidikan yang timpang, pelayanan kesehatan yang tidak merata, serta kesenjangan ekonomi yang semakin mencolok. Sementara itu, para koruptor sering mendapat hukuman ringan atau bahkan fasilitas mewah di penjara. Fenomena inilah yang memunculkan kesan bahwa hukum di negeri ini masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Ketidakadilan juga tampak dalam proses politik. Demokrasi yang semestinya memberi ruang bagi rakyat untuk berdaulat, sering kali dipenuhi praktik politik uang dan manipulasi. Suara rakyat mudah dibeli, sementara kepentingan masyarakat luas kerap terpinggirkan oleh kepentingan kelompok elit. Dalam perspektif hukum tata negara, hal ini merupakan pengkhianatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia.

Meski demikian, kondisi ini bukan berarti tanpa harapan. Justru dari masalah korupsi dan ketidakadilan inilah lahir tuntutan kuat untuk memperbaiki sistem. Gerakan masyarakat sipil, peran media, serta suara kritis mahasiswa menjadi modal penting untuk mengawal transparansi dan akuntabilitas. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten, tanpa pandang bulu, harus menjadi prioritas utama pemerintah. Selain itu, pendidikan politik dan hukum bagi masyarakat harus terus ditingkatkan agar rakyat mampu mengawasi jalannya kekuasaan.

Sebagai generasi muda, khususnya mahasiswa hukum tata negara, kita memiliki tanggung jawab moral untuk tidak tinggal diam. Melawan korupsi dan ketidakadilan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga panggilan seluruh elemen bangsa. Melalui kajian akademik, advokasi kebijakan, hingga gerakan sosial yang konstruktif, mahasiswa bisa menjadi motor perubahan yang membawa bangsa ini lebih dekat kepada cita-cita keadilan.

Pada akhirnya, bangsa ini hanya bisa maju apabila korupsi diberantas dan hukum ditegakkan tanpa kompromi. Ketidakadilan harus dilawan dengan keberpihakan nyata kepada rakyat kecil, bukan sekadar slogan politik. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka Indonesia benar-benar dapat berdiri tegak sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

0 Komentar